Memegang idealisme itu laksana MENGGENGGAM BARA API..Tak banyak orang mau melakukannya.. Sebab, hanya sedikit yang sudi bersusah-susah mencari perlindungan telapak tangan AGAR TAK MELEPUH..

Sabtu, 26 Juli 2008

RELATIF

Penilaian kita sangat relatif. Apa yang kita rasakan relatif. Apa yang kita dengar relatif. Semuanya serba relatif. Saya jadi teringat dengan pelajaran bu dwi guru fisika waktu SMA dulu yang menerangkan mengenai Relativitas Einstein. Dunia yang sedang kita pijaki ini juga bergerak dengan relatif. Kita sering menyebutkan kata-kata relatif. Sebenarnya apa relatif itu?sebenarnya siapakah relatif itu dalam kacamata manusia?

Dunia ini sudah penat dipenuhi oleh segala kebohongan. Segala kerelatifan. Orang-orang sering saja melontarkan. Hhmm dia benar relatif, dia kaya relatif. Manusia ini terlalu pragmatis untuk mengatakan kata relatif tanpa mengerti apa benar kosakata yang ia gunakan. Kita ini terlalu ‘pintar’ seakan-akan sok merasa benar dengan segala yang kita lontar. Saya tidak ingin menjadi orang yang dalam kerelativitasan karena saya ingin sebuah keabsolutan. Absolute, mutlak, pasti. Relatif itu tidak murni karena ia lahir dari pemikiran-pemikiran yang egosentris dan emosional semata serta bertendensi sangat subjektif tanpa menggunakan logika yang Alloh berikan kepada mereka.

Orang memandang ‘aku’ sangat egois ‘aku’ mengatakan ‘kamu’ pemalu kamu mencaci ‘orang’ yang duduk termenung. Semuanya serba relatif. Anto menyukai tono, anti mencintai tono tetapi toni benci tono. Mengapa mereka memiliki penilaian yang berbeda. “relatif:”. Sebenarnya apa sih yang dinamakan relatif itu. Saya semakin pusing dengan relatif karena saya sangat menyukai absolut. Orang terlalu diperbudak dengan keinginan pribadi yang ,menjerumuskan dan menjerat erat pada leher orang-orang yang berelatif. Aku menginginkan semua sama. Tetapi proporsional dan adil. Semakin hari aku semakin memikirkan hal-hal yang tak penting, tak masuk akal logika. Terkadang aku sanagat emas untuk memutar otak dalam mencari pembenaran. Itulah aku. Aku yang kini mencari kerelatifan. Bukan keabsolutan. Karena absolute itu terlalu mamaksakan. Benar juga orang berelatif ria, karena tiap orang memiliki sudut pandang yang berbeda. Setiap orang memiliki hak demokrasi untuk menunjukkan perbedaan yang nyata yang ada pada dirinya. Aku terlalu kaku terpaku dalam tembikar yang ortodok. Sudah saatnya lah kini aku membuka jalan yang aku lalui. Karena aku adalah aku. Bukan kamu. Ingat itu.

Tidak ada komentar: