Memegang idealisme itu laksana MENGGENGGAM BARA API..Tak banyak orang mau melakukannya.. Sebab, hanya sedikit yang sudi bersusah-susah mencari perlindungan telapak tangan AGAR TAK MELEPUH..

Sabtu, 26 Juli 2008

Kehidupan kita berbeda

Tidak banyak yang aku lakukan hari ini. Hanya mengikuti jadwal pre kepaniteraan di RSAM. Ternyata kehidupan tenaga kesehatan sangat lah berbeda dengan kebanyakan kehidupan orang lain. Yah, berbeda lantaran mereka disibukkan dengan berbagai masalah manusia yang nikmatnya dikurangi oleh Alloh. Ada yang kurang menuurt aku dari kehidupan mereka. Mereka terkenal “kaya” dan berlimpahan kenikmatan. Berbeda dengan abang tukang somay yang biasa mangkal di perempatan jalan dan menjajakan jajanannya keliling kost yang hanya memperoleh sedikit kenikmatan. Mereka melakukan tindakan dibayar dengan uang jutaan, sedangkan abang tukang somay seharian berkeliling paling banyak hanya mendapatkan uang seratus ribu.

Mereka berwajah putih bersih dan rambut tertata rapi. Jidat mereka lebar-lebar yang menandakan volume otak yang memadatkan ruang dalam tengkorak. Otak tersebut dikaruniai memori miliaran gigabyte yang diisi oleh ilmu-ilmu mengenai anatomi tubuh manusia, fisiologi kinerja alat-alat tubuh dan farmakologi setiap penawar penyakit. Berbeda dengan tukang somai yang berpakaian alahkadarnya yang dialasi sandal jepit hijau yang sudah melar dan memiliki wajah yang memelas karena setiap hari disibukkan dengan pembeli yang kadang ramai kadang sepi.

Adil, memang adil. Ada kaya, ada miskin. Ada cakap, ada jelek. Ada beruntung, ada merugi. Simultan memang tetapi terkadang menyenangkan disatu sisi dan menyedihkan di sisi yang lain. Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah, “dimanakah aku?”. Apakah aku bberada pada orang-orang “atas” yang hanya mengerakkan beberapa otot untuk mencoba menempelkan stetoskop lalu menuliskan coretan kecil yang tulisannya tidak terbaca dan mendapatkan bayaran yang cukup besar. Disinilah sosialisme aku akan diuji. Bagaimana memancurkan rasa empati kepada orang lain, mesyukuri kelebihan dan ikhlas menerima kekurangan.

Kini kehidupanku hanya setitik buih yang tiada arti. Kelak aku berjanji akan menjadi tetesan-tetesan embun yang menyegarkan di pagi hari. Menjadi oase ditengah-tengah gurun pasir. Bukan hanya sebagai fatamorgana yang menyimpan kebohongan. Ataukah hanya berhenti berharap sampai pada titik kejenuhan untuk bergerak.

Sangat wajar mereka berlimpahan karunia kenikmatan. Mereka memang ditempa dalam kesulitan pada awalnya. Tetapi apakah dunia cukup adil apabila ada manusia yang dipenuhi dengan otak yang banyak menyimpan potensi untuk berprestasi tetapi miskin akan kehidupan secara duniawi.Apakah adil apabila ada manusia yang dilimpahkan berbagai macam kenikmatan tetapi mereka enggan untuk mensyukuri anugerah yang dititipkan kepadanya.

Begitu berbeda kehidupan manusia satu dengan yang lainnya. Aku pernah tinggal dikeluarga yang memiliki stratifikasi social cukup tinggi. Ternyata budaya konsumtif yang melekat padanya merupakan system yang berjalan begitu saja. Dengan banyaknya penghasilan kita akan berkorelasi positif dengan kebutuhan. Berbeda dengan orang yang memiliki hidup pas-pasan yang sudah untung apabila bisa makan dalam satu hari. Seribu saja bagi mereka sangat berharga.

Aku semakin dibingungkan dengan teka-teki kehidupan yang harus aku lewati. Kadang pasang kadang surut. Yah itulah kehidupan. Manusia memiliki kehidupan yang berbeda dengan lainnya. Itulah kehidupan…

Tidak ada komentar: