Saya akan mencoba mendeskribsikan akar permasalahan sewaktu demonstrasi besar-besaran yang dilakukan Aliansi Mahasiswa Unila untuk Kampus (AMUuK). Yah daialah A&F yang awalnya mengunjungi kampus kedokteran untuk berdiskusi ringan seputar permasalahan dengan saya. Saya ditemani oleh wakil gubernur dan sekretaris eksekutif membicarakan masalah kondisi kampus tercinta ini. Pembicaraan tersebut membicarakan permasalahan material yang ada dikampus. Kami selalu menyoroti masalah keuangan dan kebijakan yang merugikan mahasiswa. Biaya SP ini menjadi objek yang sangat hangat utnuk kami perbincangkan. Pada pemberitaan saat wisuda periode 3 bulan maret itu rector Unila mengatakan akan menaikkan biaya SP sebesar 100%.25 ribu menjadi 50 ribu. Dab untuk kedokteran 90 ribu menjadi 180 ribu.Hal ini menyulutkan keterdiaman mahasiswa. Singkat cerita kami pun membicarakan masalah tindak lanjut dari perbincangan yang kita lakukan
Setelah mereka berdua pergi kami (saya, wagub, sektif) membicarakan permasalahan yang tadi kami perbincangkan. Sepertinya semangat mereka ikut terbakar ketika kami menggebu-gebu melontarkan berbagai permasalahan yang ada di Unila. 3 hari kemudian F kembali ke kampus kedokteran untuk menindaklanjuti permsalahan penolakan biaya SP tersebut. Kami membicarakan masalah teknis pelaksanaan serta struktural elemen aksi demonstrasi. Dan ternyata, di lain pihak FE memiliki gerakan penolakan biaya SP juga. Sehingga kami sepakat untuk melebur semua gerakan yang sporadis tersebut menjadi sebuah gerakan besar. Hemat saya ada beberapa fakultas yang tergabung dalam aliansi ini yakni. BEM Persipan Fakultas Kedokteran, BEM FP, BEM FH, LK di FE. Menurut saya hanya segitu saja masa-masa yang konsentrasi dalam masalah penolakan biaya SP ini.
Beberapa forum dan pertemuan kamu adakan di salah satu sekretariat BEM di Unila. Kami merencanakan awaknya aksi demonstrasi ini dilakukan pada hari Senin. Tetapi karena kurang optimalnya persiapan dari seluruh LK yang ada dan kondisi agitasi propaganda massa saat itu kurang terjalin baik maka kami mengundurkannya hingga hari rabu. Saat itu saya sangat lupa tanggal berapa. Yang pasti aksi tersebut berlangsung bertepatan dengan Ujian Tengah Semester mata kuliah Bioetika dan Humaniora 2.
Singkat cerita, hari senin kami melakukan agitasi propaganda kepada seluruh lapisan mahasiswa Unila dengan bermodalkan pamflet dan leaflet. Sore harinya kami berkumpul lagi dengan tim aliansi untuk mebahasa evaluasi dan proyeksi kegiatan untuk selasa. Pada hari selasa kami mengumpulkan petisi penolakan penaikan biaya SP. Dan sorenya seperti biasa melakukan konsolidasi terkait untuk proyeksi demonstrasi untuk hari rabu.
Ketika evaluasi hari selasanya saya tidak berkenan hadir karena ada jadwal mangajar les privat di kemiling. Malamnya saya baru meminta konfirmasi mengenai persiapan demonstrasi. Malam harinya saya mengirimkan sms kepada anggota Bem terutama dan mahasiswa kedokteran. Saya sangat menginsafi bahwa apabila hanya isu peningkatan biaya SP saja yang diusung, mahasiswa kedokteran akan acuh dan tidak akan ikut serta dalam demonstrasi, sehingga saya pun berinsiatif untuk memasukkan poin nilai C dapat di ulang. Hal tersebut sudah saya utarakan kepada para pimpinan LK yang saat itu hadir agar nilai C dapat diulang dijadikan sebagai isu derivasi dari grand isu yang diusung. Selain itu pula, isu seperti transparansi dana kemahasiswaan pun turut menjadi bahan yang diperbincangkan agar dimasukkanke dalam isu tambahan.
Perlengakapan aksi pun sudah saya siapkan malamnya. Pagi hari jam 7 saya menerima sms yang berisi ”apakah kita siap bung untuk melakukan perubahan di Unila?”. saya menjawab saya siap dengan segala kerelaan hati saya menjawab smsnya. Dengan menumpak motor satria merah kesayangan saya yang dihibahkan oleh pak polisi itu (a’adjuk) saya mencoba berkeliling pada pagi hari. Ternyata massa di FE dan FH membludak. Dengan sorak sorai semangat melakukan perubahan itu membuat bulu roman saya merinding. Inilah mahasiswa saya menggerutu dalam hati. Seharusnya begini mahasiswa hati saya berbicara kencang.
Saya bergegas menuju kampus kedokteran untuk bersiap-siap. Saya menunggu rekan-rekan yang satu frame untuk melakukan perubahan. Sekaligus saya mempersiapkan perangkat aksi seperti poster-poster tuntutan, megaphone BEM yang merupakan saksi sejarah saat saya menjabat. Waktu saat itu menunjukkan pukul 8.30. saya memikirkan kuliah Ilmu Penyakit Dalam yang saat itu sedang kuliah. Diabsen atau kah tidak. Karena saya sudah banyak tidak masuk kuliah tersebut. Pikiran saya juga teringat kepada ujian Bioetika dan Humaniora 2 yang jam 13 nantI akan ujian. Pening kepala saya sesaat karena memikirkan nasib apabila ujian saya hancur. Karena malam harinya memang benar-benar saya tidak belajar. Tidak belajar karena malam itu saya habiskan untuk mengkondisikan rekan-rekan untuk demonstrasi besoknya.
Waktu menunjukkan pukul 9.00, melihat poster tuntutan yang sudah lengkap dibuat dan megaphone yang siap di tangan. Saya memberikan instruksi untuk bersiap-siap menuju bunderan untuk sama-sama bergabung dengan mahasiswa fakultas lain. Saya hitung personal mahasiswa kedokteran yang siap untuk berdemonstrasi sebanyak 20 orang. Yah 20 orang tidak cukup apabila kami berteriak-teriak di depan rektorat untuk meminta tuntutan. Kami mengandalkan mahasiswa fakultas lain yang saat itu massanya banyak dan membludak terutama dari FE, EH dan FISIP.
Kamipun tiba di bunderan dengan sambutan rekan-rekan mahasiswa fakultas lain. Dengan sorakan nyanyain penyemangat demonstrasi. Saat itu telah tiba di bunderan FP disusul dengan FE dan FH. Saat itu saya menjadi koordinator dari Kedokteran, FE dikordinatori oleh N, Ekonomi ekstensi oleh K, FISIP oleh A, FH oleh F dan bertindak sebagai koordinator lapangan A. Dengan semangat yang menggebu-gebu kami meneriakkan tuntutan penolakan kenaikan biaya SP.
”Mahasiswa Bersatu” ”tak bisa terkalahkan”
”mahasiswa Bersatu” ” menuntut perubahan”
Dua lima jigo dua lima jigo jadi seratus
Rektoratnya bego rektoratnya bego gak ngurtus kampus.
Itulah beberapa nyanyain penyemangat yang ikut membalut atmosfer giroh saat demonstrasi berlangsung. Kami terbuai oleh semangat semangat para pejuang layaknya berjuang dimedan perang. Panas terik tak kami hiraukan. Yang ada tinggal sebalut semangat mengadakan perubahan.
Setelah massa terkumpul semua yang jumlahnya 300 orang tersebut para koordinator berkumpul untuk merapatkan barisan para mahasiswa sehingga komando aksi itu tidak berantakan. Kami pun langsung menuju ke rektorat dengan sebentar singgah di depan gedung PKM. Di depan gedung PKM itu kami meminta BEM U untuk ikut meramaikan aksi demonstrasi penolakkan biaya SP ini. Tetapi BEM U urung turun dan enggan datang untuk bergabung dengan masa aksi.
Kami menuju gedung rektorat dengan terus berteriak meneriakkan berbagai tuntutan. Tiba didepan gedung rektorat kamipun disambut kedatangannu\ya oleh para satpam dan PD II FP serta staff ahli PRIII. Massa beraksi dengan meneriakkan berbagai tuntutan sembari mengangkat poster tuntutan. Gambaran kondisi massa saat itu adalah parkiran didepan gedung rektorat penuh sesak dengan para demonstrans. Kami (koordinator) mencoba bernegoisasi dengan PD III dan staf PR III untuk mengajukan bahwa rektor segera turun untuk mendengarkan segala tuntutan mahasiswa. Para koordinator menginginkan rektor yang turun untuk mendengarkan tuntutan kami. Kami tidak menginginkan para koordinator yang keatas untuk melakukan diskusi bersama rektor. Saat itu rektor sedang ada rapat oleh karena itu kami harus rela menunggu 20-30 menitan. 20 menit berlalu kami pun mengadakan negoisasi lagi sehingga didapatkan kesepakatan untuk kami naik ke lantai dua. Didalam ruangan PR III kami ditemui oleh rektor PR I dan staf-staf nya. Disinilah terjadi perdebatan sengit dengan rektor. Kami menginginkan untuk rektor segera turun kebawah menjumpai para demonstrans. Tetapi rektor enggan turun karena beliau mengindikasikan bahwa masa demonstrasi tidak murni berasal dari mahasiswa Unila. Oleh karena itu tawaran rektor perwakilan saja. Kalau tidak kami diminta untuk menyiapkan seluruh mahasiswa yang jumlahnya puluhan ribu di GSG unuk mengadakan sosialisasi. Mendengar tawaran tersebut kami menolak. Perdebatan ini berjalan sangat alot. Saat itu yang hadir pada perdebatan itu adalah saya, F, Fr, K, N dan saya lupa siapa lagi.
Perdebatan kami tidak mencapai suatu titik temu. Lalu rektor keluar ruangan dan kamiu pun turun ke bawah mensosialisasikan kepada massa bahwa rektor enggan menemui kita. Saat saya keluar didepan pintu rektorat, kondisi massa saat itu sudah memanas dengan adanya aksi dorong mendorong. Saya terjepit dengan dorongan dari 2 arah berbeda, dari demonstrans dan dari penjaga (Satpam, Staf PRIII). Akhirnya saya segera meloloskan diri dengan berusaha menyelinap dicelah-selah gencetan. Saya menuju ke belakang massa yang memanas itu. Aksi dorong-mendoirong pun tak terelakkan lagi. Saat itu HP saya berdering dari salah seorang teman saya.”darwis kamu lu dimana?” bu diah nanyai lu..lu diomelin karena bawa mahasiswa kedokteran untuk berdemo di depan rekltorat. Waktu menunjukkan pukul 11.30 saya pun teringat akan ujian Bioetika. Lalu tanpa pikir panjang saya segera mengkondisikan rekan-rekan kedokteran untuk segera mengambil keputusan. Saya mengungkapkan kepada teman-teman “ massa sekarang sudah memanas, kita sudah sepakat bahwa aksi kitra aksi yang tidak anarkis” sehingga saya memutuskan untuk menarik mundur pasukan. Saya bergegas ke kampus kedokteran untuk menemui sekretaris III bu diah. Dengan dijemput oleh E saya diantar ke kampus. Setibanya dikampus saya di ceramahi mengenai demonstrasi yang terjadi. Inilah salah satu bentuk intervensi yang dilakukan pihak kampus terhadap kebebasan berdemokrasi mahasiswa. Saya harus legowo dengan apa-apa yang telah diperintahkan kepada saya. Saya terkesan pengecut ketika mundur saat perang berlangsung. Dari kabar yang terdengan, aksi massa di warnai dengan kerusuhan. Pecahnya kaca pintu masuk gedung rektorat menyulut kemarahan para satpan untuk berhamburan keluar dan menggebuki para demonstrans yang nakal. Ada juga yang tertangkap seperti salah satu koordinator N namanya. Pengejaran satpam tidak hanya berhenti sampai depan gedung rektorat saja, melainkan pengejaran dilakukan dengan menyisir daerah FP dan FT. Sepertinya satpam menjadi beringas untuk menangkap mahasiswa pendemonstrasi itu. Berbagai gosip beredar yang menyatakan bahwa Gubernur Kedokteran (saya) tertangkap dan itu dijadikan sebagai umpan rasa solidaritas mahasiswa yang masih belum sadar bahwa hari itu sedang ada demonstrasi besar-besaran menolak naiknya biaya SP.
Salah seorang temnan saya menelpon saya “ wis lu dimana? Lu gak apa-apa kan”. Saya terheran-heran. Saya menjawab” gw lagi di kampus mu ujian” lalu dia menimpalkan “gw kirain lu ketangkep wis. Orang-orang bilang lu ketangkep satpam”. Gimana ketangkep sebelum cheos saya sudah meninggal kan area yang memanas tersebut.
Akhirnya saya harus konsentrasi menjawab soal ujian Bioetika dan Humaniora 2. dengan berbagai macam perasaan salah dan tidak solider saya menyadari bahwa saya pergi saat perang belum berakhir. saya menyadari itulah kelemahan yang saya miliki. Saya tidak memiliki keberanian untuk bertindak yang terlalu frontal. Terkesan kaku dengan teori-teori yang saya anut. Dan menjadikan saya manusia yang lurus-lurus saja. Tidak ada maneuver untuk mencoba ambil resiko berbahaya. Itulah saya.
Setelah ujian berakjhir saya menuju FP untuk berbincang dengan F menegenai kronologis singkat cerita pasca saya meninggalkan medan perang untuk ujian. Mengesankan memang mengesankan. Saya menyesal ketika saya tidak dapat menjadi saksi sejarah itu.Masih ada beberapa kejadian lagi yang hingga kinin harus saya rahasisakan karena sesuatu hal sehingga ini bukan menjadi konsumsi umum…tetapi intinya adalah kita mahasiswa yang dinamis dan revolusioner harus sensitive mengenai manuver-manuver kebijakan birokrat yang ada. Sehingga akan menempatkan kita pada satu titik yang dinamakan “MAHASISWA sang AGENT OF CHANGE, MORAL FORCE, STOCK IRON DAN SOSIAL CONTROL”. HIDUP MAHASISWA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar