Ini bermula dari seorang adek tingkat yang menelpon saya malam itu. Dia membicarakan permasalahan nilainya yang ketika itu tidak memperoleh hasil yang memuaskan. “kak bisa tidak kalau nilai saya kecil minta tugas dari dosen”. Saya menjawab “tergantung dosennya dek, kalau dosennya baik yanh dicoba saja, tapi kalau udah sangar jangan coba-coba deh”. Dia juga mengatakan bahwa nilai dia kecil padahal dai rajin kuliah. Berbeda dengan teman satu kelasnya yang mendapatkan nilai lebih tinggi padahal temannya tersebut jarang masuk kuliah. Daya sempat terhenyuh, kok bisa sih. Positif thinking saya mungkin temannya itu tidak masuk kuliah tetapi belajarnya di rumah. Hmmm, tetapi dengan melihat temannya yang dai sebutkan namanya itu saya merasa ada keganjilan dengan nilainya itu. Rupanya hal itu mengundang saya untuk membantu menanyakan perihal nilai adek tingkat saya kepada dosen yang bersangkutan. Kebetulan saja dosen tersebut sangat akrab dengan saya. Saya bersedia menanyakan kepada dosen tersebut kepada adek tingkat saya.”nanti malam saya tidak ada acara, Insya Alloh saya akan ke tempat praktek dokter itu yah” “ya sudah gak apa-apa, sabar aja ini baru semester awal kamu akan mendapatkan hal seperti itu lagi ketika kamu semester selanjutnya, bagi saya hal tersebut sudah biasa, jadi sing sabar aja yah dek.
Dari sepenggal cerita awal seperti itu, menguakkan pikiran saya untuk memuntahkan cerita yang sangat menyedihkan yang saya alami.Saya mempunyai cerita yang sangat menegangkan ketika saya duduk di semester 3. saat itu bulan akhir Januari. Saat itu pula nilai-nilai semester 3 satu persatu keluar. Hal yang paling saya benci adalah apabila saya dituduh melakukan sesuatu padahal saya tidak melakukannya. Ini bermula dari nilai Mikrobiologi I. Saya mendapatkan informasi dari salah satu teman saya nilai saya C. Keesokan harinya saya mendapatkan berita lagi nilai saya berubah menjadi B. Hal itu terjadi karena nilai angkatan kami memang kecil-kecil. Nilai semua kelas di dongkrak. Dilakukanlah penambahan nilai. Alhasil ketika itu nilai C saya C gemuk dan di dongkrak menjadi B kurus. Inilah yang memacu kemarahan teman-teman saya. Saya dituduh meminta nilai supaya nilai saya menjadi B. Padahal sama sekali saya tidak melakukannya. Nilai itu dari C ke B memang hasil dongkrakan. Dan yang didongkrak bukan hanya nilai saya saja. Tetapi juga nilai yang lain juga. Kalau memang ada yang C tetap C itu mungkin setelah di dongkrak nilainya masih kurang untuk menjadi B. Saya juga bercanda keterlaluan dengan teman saya yang ketika itu menjadi PJ. Dia nanya ke saya. “kok lu bisa tau sih nilai lu yang dari C ke B”. Saya jawab “makanya kenal sama dosen jadinya bisa ditambahin sama dosennya”. Saya tidak bermaksud untuk membuat ia marah. Mungkin itulah sikap keluguan saya ketika itu. Saya tidak bisa membohongi diri saya sendiri.tetapi sumpah saya tidak pernah memohon-mohon kepada dosen yang bersangkutan untuk MEMINTA nilai. Fitnah demi fitnah yang saya alami saat itu membuat saya menjadi manusaia yang tidak memiliki kharisma lagi sebagai seornga manusaia yang saat itu masih menjadi pemimpin angkatan.
Ada lagi mata kuliah yang jadi perdebatan dan menjadikan saya kerdil dengan segala corengan kesalahan yang pada dasarnya saya tidak melakukan hal itu. IKM yah IKM. Di papan pengumuman sudah ditempel bahwa saya mendapatkan nilai E. Syok saya ketika melihat nilai saya itu. Saya melihat perincian nilai saya itu. Nilai UTS, UAS dan Quis. Ternyata akar permasalahan yang menjadikan nilai saya E adalah nilai quis saya tidak ada. Saya pun bergegas menghubungi dosen yang bersangkutan. Setelah saya menelpon doseb tersebut ternyata memang katanya saya tyidak ikut quis. Faktany saya ikut quis denganbukti presensi kehadiran saya di lembar presensi di TU. Saya melakukan advokasi besar-besaran ketika itu. Saya mencoba menghubungi salah seorang teman baik saya yang ketika itu menjadi PJ mata kuliah. Dengan bermodalkan kebenaran saya ikut quis, saya memberanikan diri untuk mengunjungi rumah dosen yang bersangkutan. Ditemani oleh 2 orang rekan baik saya ketika itu saya datang ke rumah dosen yang bersangkutan dengan maksud menanyakan kebenaran quis saya. Setelah sampai di rumah dosen, saya menjelaskan perihal kedatangan saya. Sekali lagi saya tegaskan kepada orang-orang yang sudah suudzon kepada saya yang “KATANYA” saya minta nilai. Saya hanya meminta kebenaran quis saya. Dengan meminta kerelaan hati, saya memohon kepada dosen tersebut untuk menunujukkan saya kertas quis saya. Dosen itu berkata. Ada dua kertas quis yang tidak ada namanya. Beliau menunjukkannya kepada saya.Tragis, ternyata kertas ujian yang tidak namanya adalah kertas ujian saya. Ini kesalahan siapa, lembar quis saya yang saya tulis 2 lembar itu ternyata tinggal satu lembar. Bagian 1 (muka) berisi nama dan NPM serta jawaban nomor 1 – 3. lembar yang kedua berisi nomor 4 – 5. nah lembar yang hilang tersebut lembar yang pertama. Praktis identitas si penulis itu pun lenyap. Hancur hati ketika itu, saat hasil karya belajar saya hilang tak dinilai. Akhirnya saya meminta dosen tersebut untuk menilai hasil quis saya. Dan saya di beri niali 30. yah saya harus puas dengan angka 30. Cuma 2 nomor saja yang dinilai. Hasilnya 30. saya sudah berlega hati karena dengan penambahan nilai 30 quis itu nilai saya jadi D. Ingat kawan satu angkatan saya yang ketika itu suudzon kepada saya. “saya tidak meminta nilai saya naik. tetapi saya melakukan pembenaran atas lenyapnya kertas quis yang dirobek oleh orang tak bertanggungjawab”.
Akhirnya saya harus puas dengan nilai D. Alhamdulillah ada remedial. Setelah hasil remedial itu, saya mendapatkan nilai C. Untuk teman-teman saya yang telah suudzon, semoga Alloh akan memberikan kecerahan pembenaran atas diri saya.
Ada lagi ternyata yang membuat saya dibenci oleh teman sekelas saat itu. Astagfirulloh apalagi fitnah-fitnah yang di tujukan kepada saya. Nilai Biostatistika. Apalagi itu. Katanya Nilai biostat saya dari B menjadi A. Ya Alloh, ampyun dah mana yang berubah coba anda periksa saja ke siakad bung. Saya berani sumpah apapun untuk membenarkan pernyataan saya.
Ada satu mata kuliah lagi yang menjadi permasalahan. Yakni faal. Ketika itu nilai akhir saya 75. nyaris mendekati 76 yang bernilai mutu A. Saya menyesali ketika itu. Saat saya melihat nilai faal yang terpampang di mading, dosen faal mendekati saya ketika ia ingin beranjak pulang. ”nilai kamu apa wis?”. ”B dok”. Saya menjawab. Dosen itu bertanya lagi ”mang nilai akhir kamu berapa?” saya jawab 75 Dok. Oh yaudah kamu buat tugas aja buat nambah nilai supaya dapat A”. Tanpa pikir panjang saya pun mengiya kan keinginan baik dosen tersebut untuk mencoba menenangkan hati saya. Dosen itupun menawarkan kepada teman-teman saya yang nilainya C gemuk supaya dapat B. Disini perlu diingat. ”saya tidak berusaha sendirian dengan egoisnya mengerjakan tugas untuk mendapatkan perubahan nilai. tetapi juga teman-teman saya yang nilainya mendekati itu saya minta membuat tugas yang memang diperintahkan oleh dosen yang bersangkutan”.
Saya mencoba menginventarisir teman-teman yang nilainya hampir. Saya tidak menyadari bahwa dengan sibuknya saya atas tugas kompensasi perubahan nilai itu, di balik badan saya teman-teman sekelas memusuhi saya, katanya saya yang nilainya sudah besar masih saja mengurusi nilai saya supaya dapet A. Ingat Bung saya diperintahkan untuk membuat tugas dan yang diperintahkan bukan saya saja tetapi yang lain juga. Kesempatan itu tidak akan datanmg kembali. Menyadari kondisi yang pada saat itu memanas. Saya pun mengurungkan niat untuk menyerahkan tugas tersebut. Saya harus puas denga nilai B yang hampir A itu. Tetapi kecurigaan itu buaknnya hilang tetapi semakin membludak. Puncaknya adalajh terjadi kudeta saya dari ketua angkatan 2004. saya dinilai kurang memihak teman-teman sekelas. Saat itu saya disidang satu angkatan. Mereka menuntut saya untuk mundur dari ketua angkatan. Dengan ras hormat saya memundurkandiri apabila dilaksanakan pemungutan suara. Pemungutan suara pun dilakukan. Ternyata memang teman-teman saya menginginkan saya untuk turun dari posisi ketua angkatan. Inilah tragisnya seorang pemimpin yang bareng-bareng ”ditenjangi” di depan rakyatnya sendiri. Padahal saya tidak bermaksud seperti itu.
Mudah-mudahan ini menjadi bahan refleksi kepada saya untuk mensyukuri nikmat kepada Alloh. Saya harus bersyukur apapun nilai yang sudah Alloh berikan. Saya terkena azabNya yang kurang mensyukuri nikmatNya. Cerita ini tidak pernah terexplore keluar. Saya memendamnya selama 2 tahun pasca kejadian itu. Sesak memang didada. Ketika saya harus ”ditelanjangi” di depan teman-teman saya. Hmmm, sudah lah kalau saya memikirkan hal ini terus rasa kepedihan yang ada. Kejadian ini sudah berlalu dan menjadi batu loncatan oleh saya untuk maju lebih baik lagi. Alhamdulillah di semester 4 saya memulai meniti kepercayaan teman-teman. Dengan belajar bersama lagi. Menjadi tempat konsultasi dan sharing di setiap belajar intensif ketika ujian akan tiba. Hingga saat semester 4 saya memberikan kepada teman-teman saya dengan mendapatkan IP sesuai dengan semester berapa saya sekarang. Nilai yang sempurna saya pikir. Tetapi luka dahulu belumlah mengering. Kalaupun mengering ia akan meninggalkan jaringan parut. Tidak akan kembali pada kondisi saat dulu.
Di semester 8 ini (akhir insya Alloh) doain aja. Nilai bukan lah segala-galanya. Saya sudah pasrah saja. Saya membuat ”wajar” apabila ”Ia” mendapatkan nilai baik ”karena ia ”itu”. Itu sebuah keniscayaan yang harus saya pegang teguh. Saya sudah tidak perduli dengan nilai yang ada. Saya hanya berharap nilai saya di semester 8 ini sarat dengan kelulusan saja. Cukup untuk dapat menjadi kebanggaan orang tua ketika saya bercerita tentang nilai saya. Biarkan mereka bereuforia dengan nilai yang abstrak itu. Abstrak, semu dan puaskah kita apabila seperti itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar